KONTRASTIMES.COM-MALANG | Dibalik Tokoh Besar Pasti Ada Orang Besar, kalimat itu sekiranya cukup layak untuk menjadi dasar ketika kita mencoba melihat serangkaian peristiwa sejarah maupun mencoba menelisik dari tokoh-tokoh besar pejuang di Masa lalu.
Saat kita ingat Majapahit kita akan mengingat sosok pendiri Raden Wijaya, kala kita mengenang kejayaan Majapahit kita akan terbayang Prabu Hayam Wuruk dan Mahapatih Gajah Mada
Begitupun kalau kita melihat sosok Revolusioner Cuba Fidel Alejandro Castro Ruz, terkenang pula Che Guevara, Melihat Tokoh Revolusi Indonesi Ir.Soekarno (Bung Karno) kita juga akan melihat soso Drs. H. Mohammad Hatta (populer sebagai Bung Hatta), demikian seterusnya dan tentunya masih banyak tokoh di sekitar mereka berjuang tanpa pamrih, tidak peduli apakah nama dan jasa mereka akan tertulis dalam buku sejarah atau setidaknya akan di do’akan oleh para generasi yang akan datang.
“Hanya orang yang tahu tujuan hidup akan mengerti arti perjuangan, dan hanya orang numpang hidup yang tidak bisa menghargai jasa para pahlawan“
Mengenang sosok Singo Yudho, sejarah dan kehidupannya tidaklah mudah, namun bukan berarti sulit.
Mengawali tulisan ini penulis akan mencoba merangkai dari beberapa fakta yang kiranya akan didapatkan sebuah gambaran tentang Tokoh Pejuang Singo Yudho.
Mengutip dari keterangan buku lama silsilah keturunan Mbah Singo Yudho, Singo Yudho di terangkan pindah/menetap di Malang sekitar pada tahun 1830 M, selain nama Singo Yudho, dia juga di kenal dengan nama lain Syekh Abdurohman Suryo Negoro.
Meskipun ada juga beberapa nama yang dinisbatkan sebagai Singo Yudho, seperti di Pasuruan ada Mbah Selagah (Slagah berarti singa putih) dengan nama lain Syeh Hasan Sanusi makamnya diselatan Alun-alun Pasuruan, di Bojonegoro Desa Sumber Arum Dander ada Makam Senopati Ki Singo Yudho Dan Ki Singo Nayo.
Seperti diceritakan dalam sufimenembusbatas.blogspot.(18/04/2018) mengenai nama Ki Singo Yudho yang ada di Bojonegoro ia menjadi Senopati di Kerajaan Ngurawan Bedander (Ngrawan Dander) sedang nama lain Ki Singo Nayo menjadi Senopati di Kerajaan Rajekwesi. Dan Ki Buyut Merto Yuda menjadi Prajurit Mataram.
Kyai Kasepuhan LUHUR KEDATON Mewakili Sambutan dari Silsilah Hj.Maimunah binti Singo Yudho
Sehingga dari cerita itu ditemukan jawaban bahwa yang menjadi Singo Yudho di Mataram Islam adalah Syeh Abdurohman Suryo Negoro sementara itu Pangeran Diponegoro bergelar Sultan Abdul Hamid Heru Cokro Kabiril Mukminin Sayidin Panata Agama Khalifatullah Tanah Jawa
Kontras Times Foto: Luhur Kedaton Bersama Keluarga Mbah Singo Yudho di Makam Mbah Singo Yudho dan Makam Istrinya Aminah Singo Yudho di Makam Umum JL.Raya Diponegoro Bululawang Kab.Malang
Nama atau gelar Singo Yudho sendiri dikisahkan merupakan gelar kehormatan tertinggi untuk panglima perang/Senopati Utama perang pada masa Perjuangan Pangeran Diponegoro, seperti halnya sebutan Mahapatih Amangkubumi Gajah Mada di Era kejayaan Majapahit di pimpin Tribhuwana Wijayatunggadewi dilanjutkan putranya Prabu Hayam Wuruk.
Pangeran Diponegoro Menolak Jadi Raja Mataram
Diponegoro lahir di Yogyakarta pada tanggal 11 November 1785 dari ibu yang merupakan seorang selir (garwa ampeyan), bernama R.A. Mangkarawati, dari Pacitan dan ayahnya bernama Gusti Raden Mas Suraja, yang di kemudian hari naik tahta bergelar Hamengkubuwana III.
Pangeran Diponegoro sewaktu dilahirkan bernama Bendara Raden Mas Mustahar, kemudian diubah menjadi Bendara Raden Mas Antawirya.Nama Islamnya adalah ‘Abdul Hamid.
Setelah ayahnya naik tahta, Bendara Raden Mas Antawirya diwisuda sebagai pangeran dengan nama Bendara Pangeran Harya Dipanegara.
Ketika dewasa, Pangeran Diponegoro menolak keinginan sang ayah untuk menjadi raja. Ia sendiri beralasan bahwa posisi ibunya yang bukan sebagai istri permaisuri, membuat dirinya merasa tidak layak untuk menduduki jabatan tersebut.
Kemudian Putara Mahkota di berikan kepada Hamangku Buwono IV (Meninggal umur 19 tahun) di Lanjutkan Hamengku Buwono V Lahir pada tanggal 20 Januari 1821, putera Sri Sultan Hamengku Buwono IV dengan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Kencono ini diberi nama Gusti Raden Mas (GRM) Gatot Menol.
Tahun 1823, ketika ayahandanya wafat, beliau diangkat menjadi Sri Sultan Hamengku Buwono V saat baru menginjak usia 3 tahun. Tumbuh besar dengan perlakuan khusus antara perasaan iba dan tanggung jawab yang besar seperti itulah yang membentuk karakter beliau menjadi orang yang lemah lembut dan sebisa mungkin menghindari kekerasan.
Dikarenakan usia sultan yang masih sangat belia, maka dibentuk dewan perwalian untuk mendampingi tugas-tugas pemerintahan. Anggota dewan perwalian terdiri atas Ratu Ageng (nenek Sultan, yang juga permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono III), Ratu Kencono (ibu Sultan, permaisuri Sri Sultan Hamengku Buwono IV), Pangeran Mangkubumi (putra Sri Sultan Hamengku Buwono II) dan Pangeran Diponegoro.
Sementara Para wali itu hanya mempunyai wewenang mengawasi keuangan keraton, sedangkan pelaksanaan pemerintahan keraton berada di tangan Patih Danurejo III, di bawah pengawasan residen Belanda. Sama halnya dengan ayah beliau yang didampingi oleh dewan perwalian.
Sri Sultan Hamengku Buwono V baru memegang kendali pemerintahan secara penuh pada tahun 1836 ketika usianya menginjak 16 tahun.
Masa kepemimpinannya sempat digantikan sementara oleh kakek buyutnya, Sri Sultan Hamengku Buwono II pada tahun 1826-1828.
Sejarah mencatat bahwa Perang Jawa -peperangan terbesar yang dialami oleh pemerintah kolonial akibat perlawanan yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro, terjadi pada era kepemimpinan Sultan Hamengku Buwono V (Masih Kecil)
Kemudian Pangeran Diponegoro yang bergelar Sultan Abdul Hamid Heru Cokro Kabiril Mukminin Sayidin Panata Agama Khalifatullah Tanah Jawa , memilih jalan perjuangan melawan penjajahan pemerintah Hindia Belanda bersama Singo Yudho dan beberapa penggawa kerajaan membentuk pasukan Perang sendiri bersama rakyat selama periode tahun 1825 hingga 1830
Perang Jawa (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog)
Dikutip dari wikipedia.org, tahun 1830 M, itu merupakan tahun dimana Pangeran Diponegoro atau juga di kenal Sultan Abdul Hamid Heru Cokro Kabiril Mukminin Sayidin Panata Agama Khalifatullah Tanah Jawa, melakukan perang Pamungkas (Perang Terahir), menjadi tahun yang sama Mbah Singo Yudho atau Abdurohman Suryo Negoro pindah dan menetap di Malang.
Pangeran Diponegoro (Mustahar; Antawirya; 11 November 1785 – 8 Januari 1855), juga dikenali sebagai Dipanegara, ialah seorang putera bangsa Jawa yang menentang pemerintahan kolonial Belanda. Beliau memainkan peranan penting dalam Perang Jawa (1825–1830). Beliau dibuang negeri ke Makasar oleh Belanda dalam tahun 1830.
Lukisan Pangeran Diponegoro
Dalam catatan lain Pangeran Harya Dipanegara (atau biasa dikenal dengan nama Pangeran Diponegoro, lahir di Ngayogyakarta Hadiningrat, 11 November 1785 – meninggal di Makassar, Hindia Belanda, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun) adalah salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia, yang memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa selama periode tahun 1825 hingga 1830 melawan pemerintah Hindia Belanda.
Kala itu Pasukan Belanda yang dipimpin Jenderal De Kock berhasil mendesak Diponegoro di Magelang pada 28 Maret 1830.
Belanda meminta agar Pangeran Diponegoro menghentikan perang, namun permintaan itu ditolak
Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, Semarang.
Lukisan Penangkapan Pangeran Diponegoro karya Raden Saleh
Pada 5 April 1830, Pangeran Diponegoro dibawa ke Batavia menggunakan kapal Pollux.
Selanjutnya pada 30 April 1830, Belanda memutuskan Pangeran Diponegoro diasingkan ke Manado bersama dengan istri keenamnya, Raden Ayu Ratna Ningsih.
Pangeran Diponegoro beserta rombongannya tiba di Manado pada 3 Mei 1830 dan langsung ditawan di Benteng Amsterdam.
Pada 1834, ia dipindahkan ke Benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
Penahanan Pangeran Diponegoro yang di pindah-pindah dan keluar dari tanah Jawa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, di maksudkan untuk menghindari adanya serangan balasan atau upaya pembebasan dari Para Pejuang Sahabat dan pengikut Pangeran Diponegoro
Di kota tersebut, Pangeran Diponegoro menghabiskan sisa hidupya hingga tutup usia pada 8 Januari 1855 dan dimakamkan di Jalan Diponegoro, Makassar.
Perang Diponegoro ini juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa (Inggris:The Java War, Belanda: De Java Oorlog) adalah perang besar dan berlangsung selama lima tahun (1825-1830) di Pulau Jawa, Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara, melibatkan pasukan Belanda di bawah pimpinan Jenderal Hendrik Merkus de Kock yang berusaha meredam perlawanan penduduk Jawa di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro. Akibat perang ini, sejarah mencatat, Perang Diponegoro atau Perang Jawa dikenal sebagai perang yang menelan korban terbanyak dalam sejarah Indonesia, yakni 8.000 korban serdadu Hindia Belanda, 7.000 pribumi, dan 200 ribu orang Jawa serta kerugian materi 25 juta Gulden.
Pangeran Diponegoro Memberi Tugas Khusus ke Panglima Perang Abdurohman Suryo Negoro (Singo Yudho)
Pangeran Diponegoro tidak ingin perjuangannya padam meski dirinya ditangkap atau dibunuh, karena itu dia Meminta Panglima Perang Singo Yudho dan Sisa Prajurit untuk Menghindar dari Penangkapan Belanda serta Meneruskan Perjuangannya melawan penjajah.
Singo Yudho Menetap di Malang
Kontras Times Foto: Rumah Tampak Depan Peninggalan Mbah Singo Yudho yang masih ada hingga sekarang di JL.diponegoro 04 , RT 11 RW 06 Bululawang Kabupaten Malang
Kontras Times Foto: Rumah Tampak Belakang Peninggalan Mbah Singo Yudho yang masih ada hingga sekarang di JL.diponegoro 04 , RT 11 RW 06 Bululawang Kabupaten Malang
Pada tahun yang sama dengan penangkapan Pangeran Diponegoro yaitu tahun 1830 M, tercatat dan di ceritakan dari para sesepuh bahwa Singo Yudho pindah serta menetap di Malang sekitar tahun 1830 M (Tanggal Tahun Mbah Singo Yudho Lahir dan Meninggal masih dalam penelitian, seperti budaya orang dahulu untuk tanggal lahir dan kematian belum banyak catatan di Sisilain Makam Mbah Singo Yudho sudah dibugar dari bentuk aslinya)
Di Malang Singo Yudho memiliki istri Aminah yang kemudian menjadi Leluhur atau cikal bakal lahirnya Bani Singo Yudho yang sampai saat ini silsilah tersebut masih terjaga secara turun temurun.
Melanjutkan Perjuangan Pangeran Diponegoro, Singo Yudho membangun Padepokan Singo Yudho/Pesantren, sebagai Ulama” dia dikenal sebagai Syeh Abdurohman Suryo Negoro (Mbah Singo Yudho), tepatnya di JL.diponegoro 04 , RT 11 RW 06 Bululawang Kabupaten Malang, dimana Jalan Raya Bululawang Malang juga di Namakan sebagai JL.Diponegoro (mungkin itu di maksudkan Oleh Mbah Singo Yudho untuk menghargai dan mengingat perjuangannya bersama Pangeran Diponegoro).
Singo Yudho menolak Tawaran menjadi Bupati Malang dari pemerintahan Kolonial Belanda dan lebih memilih mendirikan Padepokan/Pesantren Pusat Perjuanga, dimana diketahui Bupati Malang Pertama saat itu R.T. Notodiningrat I memerintah dari tahun 1819 sampai dengan 12 November 1839
Nama Bupati Malang Pertama
Sebagai penutup tulisan ini: Untuk semua para Arwah Pahlawan Nusantara, Pahlawan Indonesia, Kedua Orang Tua, Guru dan Semua Guru Gurunya Guru Kita, Mbah, Buyut, Para Sesepuh ,Pinisepuh dan Leluhur sampai kanjeng Nabi Adam AS dan Ibu Hawa “Ya Allah, ampunilah mereka, kasihilah mereka, berilah mereka kekuatan, maafkanlah mereka, dan tempatkanlah mereka di tempat yang mulia, luaskan kuburannya, mandikan mereka dengan air salju dan air es. Bersihkan mereka dari segala kesalahan, sebagaimana Engkau membersihkan baju putih dari kotoran, berilah ganti rumah yang lebih baik dari rumahnya, berilah ganti keluarga yang lebih baik daripada keluarganya, istri yang lebih baik daripada istrinya, dan masukkan mereka ke surga, jagalah mereka dari siksa kubur dan neraka, dengan wasilah Al-Qur’an dan Nabi kami Muhamad Rosulullah SAW, terimalah Do’a kami, AL-FATEHAH..
Penulis : Luhur Kedaton “apapun faktanya sejarah adalah inspirasi untuk menjadikan kita lebih baik”.
Kyai Kasepuhan Luhur Kedaton saat mengikuti acara Halal Bi Halal Bani Singo Yudho