Rabu, April 24, 2024
Beranda Sample Page

Sample Page Title

Kontras TIMES.COM | Jejak Ilmu Warisan Leluhur- Prabu Jayabaya merupakan salah satu tokoh raja Jawa yang namanya masih harum dan melegenda hingga saat ini bahkan ketika puing-puing bangunan kerajaan sudah musnah di makan sang waktu.

Nama Prabu Jayabaya harum dan terus dikenang sepanjang masa diantaranya dari nilai-nilai luhur Budi pakerti dan ramalan yang ia tulis dalam Kitab Jangka Jayabaya, selain itu dalam catatan sejarah Prabu Jayabaya juga diyakini sebagai salah satu tokoh yang mampu mencapai kesempurnaan hidup dengan Moksa.

Dalam konsep pemahaman agama Hindu dan Buddha, Moksa diartikan sebagai seseorang yang ada pada tingkatan terlepas atau terbebas dari ikatan duniawi dan lepas juga dari putaran reinkarnasi atau Punarbawa kehidupan.

Pada masa lampau, kekuatan ramalan disebut terletak pada kejernihan hati dan pikiran, oleh karena itu Para Tokoh dan Raja terdahulu sering kali melakukan olah batin dalam berbagai bentuk, seperti halnya dengan bertapa, meditasi, puasa dan lain sebagainya.

Sementara itu, di era modern dan globalisasi seperti saat ini, ramalan didasarkan pada teori -teori ilmiah dan rasional, sebagai contoh banyak tokoh dan politisi, ekonom yang meramalkan/memprediksi akan datangnya “Krisis Global”, dan banyak lagi kecerdasan-kecerdasan manusia yang ditimbun dan disusun atas dasar ketamakan dan keserakahan justru merusak tatanan hidup, filosofi kehidupan disingkirkan, sebab takut malu dari kecerdasan yang berakibat kegagalan, berubah menjadi kelicikan dan pembodohan.

Banyak negara berkembang disebut telah tenggelam dalam lautan utang luar negeri, negara-negara berkembang juga disebut tidak berdaya melawan Desain Kebijakan Negara-negara adikuasa, seperti munculnya Pandemi Covid-19 dan penyakit-penyakit atau virus -virus lain di Hewan maupun manusia yang sekaligus menjadi titik tolak dimana banyak negara berkembang kemudian terancam kemiskinan dengan hilangnya lapangan pekerjaan, korupsi dan beban hutang tinggi.

Jika benar yang terjadi seperti itu, maka tidak salah apabila kita kembali membaca pesan tersirat dan tersurat dari para pendahulu kita, sebagaimana diungkapkan Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya (1135 M hingga 1157 M) dalam Jangka Jayabaya, disebut juga Kitab Asrar (Musarar)  yang kemudian digubah Sunan Prapen dari Giri Kedaton.

Ancaman Krisis Global dan Hegemoni Luar Negeri yang terjadi saat ini, didapati persamaan dalam Jangka Jayabaya disebut sebagai “Zaman Kalabendu”, seperti ditulis; Nakhoda(Orang asing)ikut serta memerintah. Punya keberanian dan kaya. Sarjana (Orang arif dan bijak) tidak ada. Rakyat sengsara. Rumah hancur berantakan diterjang jalan besar(Tol), Kemudian diganti dengan lambang Rara ngangsu, randa loro nututi pijer tetukar( Ratu yang selalu diikuti/diintai dua saudara wanita tua untuk menggantikannya).

Sementara itu kondisi perekonomian masyarakat diramalkan, Wong golek pangan kaya gabah diinteri—> Mencari rizki ibarat gabah ditampi\ sing kebat kliwat, sing kasep kepleset\ sing gedhe rame, gawe sing cilik keceklik\ sing anggak ketenggak, sing wedi padha mati\ nanging sing ngawur padha makmur\ sing ngati-ati padha sambat kepati-pati\

Tingkah laku orang mencari makan seperti gabah ditampi/yang cepat mendapatkan/ yang lambat terpeleset/ yang besar beramai-ramai membuat yang kecil terjepit/yang angkuh menengadah/ yang takut malah mati namun yang ngawur malah makmur/ yang berhati-hati mengeluh setengah mati.

Perilaku Penguasa dan Pejabat

Kitab Jangka Jayabaya menulis munculnya “Zaman Kalabendu”, ditandai dengan prilaku pejabat yang adigang, adigung dan Adiguna, tukang mangan suap saya ndadra—> Pemakan suap semakin merajalela (Banyak Pejabat Tersangkut Korupsi), Akeh janji ora ditetepi —> Banyak janji tidak ditepati.

Ratu ora netepi janji, musna panguwasane–> -Raja ingkar janji, hilang wibawanya.
Bupati dadi rakyat—> Pegawai tinggi menjadi rakyat,Wong sing jahat lan pinter jilat saya derajat—> Yang jahat dan pandai menjilat makin kuasa.

Ratu karo Ratu pada rembugan negara endi sing dipilih lan disenengi—Para raja berunding negeri mana (wilayah mana) yang dipilih dan disukai.

Ana Bupati saka wong sing asor imane—> Ada raja berasal orang beriman rendah/Wong cilik dadi priyayi—> Rakyat kecil jadi priyayi/Sing mendele dadi gedhe—> Yang curang jadi besar/
Sing jujur kojur—> Yang jujur celaka/Akeh wong nyekel bandha nanging uripe sangsara—> Banyak orang berharta tapi hidup sengsara/Ana peperangan ing njero—> Terjadi perang di dalam.

Bencana dan Musibah

Datangnya masa ini, disebut ditandai dengan datangnya banyak bencana dan musibah yang tidak bisa ditolak, seperti Letusan gunung Semeru, gempa, banjir, tenggelamnya kapal Nanggala dan Pandemi Covid-19.

Banyak hal-hal yang luar biasa. Hujan salah waktu. Banyak gempa dan gerhana. Nyawa tidak berharga, tanah Jawa berantakan (Akibat Penambangan ilegal maupun yang disebut legal, berupa tambang emas, pasir, batu dan lainnya) Kemudian raja Kara Murka Kutila musnah.

Waktu itu pajaknya rakyat adalah Uang anggris dan uwang. Sebab saya diberi hidangan darah sepitrah. Kemudian negara geger. Tanah tidak berkasiat, pemerintah rusak. Rakyat celaka. Bermacam-macam bencana yang tidak dapat ditolak.

Hubungan Pejabat dan Rakyat

Baca Juga:   Anggota DPRD Kota Blitar Dengarkan Penjelasan Walikota Blitar Terkait APBD Kota Blitar 2021
Baca Juga:   Presiden Jokowi Pimpin Upacara Peringatan Detik-Detik Proklamasi Kemerdekaan RI Tahun 2021

Disebut dalam Jangka Jayabaya, datangnya masa juga ditandai hubungan Pejabat atau penguasa dengan rakyatnya tidak sejalan atau berbeda tujuan, pemimpin atau penguasa terpisah dalam arti kurang peduli dengan masa depan rakyat, jarak pemimpin dengan rakyat semakin jauh (jarak disini bisa diartikan bukan hanya interaksi tapi juga sumber ekonomi), hak-hak rakyat kalah dengan kepentingan penguasa, terjadi kemunduran peradaban dalam segala bidang ilmu pengetahuan, seni dan budaya.

Negara rusak. Raja berpisah dengan rakyat. Bupati berdiri sendiri-sendiri. Kemudian berganti zaman Kutila. Rajanya Kara Murka (Raja-raja yang saling balas dendam.). Lambangnya Panji loro semune Pajang Mataram(Dua kekuatan pimpinan yang saling jegal ingin menjatuhkan).

Ukuman ratu ora berpihak kepada yang sah akeh pangkat jahat jahil akhlak padha mengherankan sing apik padha kepencil akarya apik “manungsa isin luwih utama ngapusi”, (Karena malu , menipu/ngapusi dianggap lebih baik)

Perilaku Sosial

Sementara itu diwaktu yang sama, pola kehidupan sosial juga berubah, nilai-nilai filosofi kehidupan bergeser, Barang jahat diangkat-angkat —> Yang jahat dijunjung-junjung, Lali kamanungsan —> Lupa jati kemanusiaan, Manungsa padha seneng nyalah —> Orang-orang saling lempar kesalahan, Kanca dadi mungsuh—> Kawan menjadi lawan, Akeh wong wadon ngedol awake —> Banyak perempuan menjual diri, Agama akeh sing nantang—> Agama banyak ditentang, Sing curang garang—> Yang curang berkuasa.

Wektu iku akeh dhandhang diunekake kuntul—> Ketika itu burung gagak dibilang bangau, Durjana saya sempurna—> Durjana semakin sempurna.

Prikamanungsan saya ilang—> Perikemanusiaan semakin hilang/Wong jahat saya seneng—> Sedang yang jahat makin bahagia/Omah suci dibenci—> Rumah suci (tempat -tempat ibadah/pemujaan) dijauhi/Omah ala saya dipuja—> Rumah maksiat (tempat-tempat hiburan) makin dipuja.

Bandha dadi memala—> Hartabenda menjadi penyakit/Sing sawenang-wenang rumangsa menang —> Yang sewenang-wenang merasa menang/Wong sing atine suci dibenci—> Yang berhati suci dibenci/Akeh wong mendem donga—> Banyak orang mabuk doa/

Prikamanungsan di-iles-iles—> Perikemanusiaan diinjak-injak.
Kasusilan ditinggal—> Tata susila diabaikan/Wong cilik disalahake—> Rakyat jelata dipersalahkan/Buruh mangluh—> Buruh menangis/Akeh wong ijir, akeh wong cethil—> Banyak orang kikir, banyak orang bakhil.

Cina alang-alang keplantrang dibandhem nggendring\ melu Jawa sing padha eling\ sing tan eling miling-miling\ mlayu-mlayu kaya maling kena tuding\ eling mulih padha manjing\ akeh wong injir, akeh cethil\ sing eman ora keduman\ sing keduman ora eman\

Cina ikut (pada) orang Jawa yang sadar (masih mengingat) / yang tidak sadar was-was / berlari-lari bak pencuri yang kena tuduh / yang tetap tinggal dibenci / banyak orang malas, banyak yang genit / yang prihatin tidak kebagian / yang dapat bagian tidak prihatin)

Penghasilan Masyarakat Tidak Mencukupi dan Beban Negara Bertambah

Diungkap dampak lain yang dirasakan adalah Susahe wong cilik—> Bersusahlah rakyat kecil, penghasilan Masyarakat tidak mencukupi, daya beli masyarakat menurun, sehingga beban negara juga bertambah, seperti beban subsidi yang harus ditanggung negara sebab banyak rakyat kehilangan sumber panguripan atau tempat untuk bekerja.

Pajak rakyat banyak sekali macamnya. Semakin naik. Panen tidak membuat kenyang. Hasilnya berkurang. orang jahat makin menjadi-jadi Orang besar hatinya jail. Makin hari makin bertambah kesengsaraan negara.

Harapan Baru

Meskipun banyak mengalami masa-masa sulit, Prabu Jayabaya selanjutnya meramalkan akan datangnya harapan baru, terwujudnya tatanan masyarakat “Gemah Ripah Loh Jinawi Toto Tentrem Kerto Raharjo,”.

Dalam mitologi Jawa disebut akan tiba waktunya “Cokro Manggilingan” dimana segala sesuatu pasti berubah dan bergeser, yang dalam Kitab Jangka Jayabaya disebut, Selot-selote mbesuk wolak-waliking zaman teka—> Lambat-laun datanglah kelak terbaliknya zaman.

Datangnya harapan baru diungkapkan, ditandai dengan munculnya pemimpin yang berhati bersih, dekat dengan Tuhan (Sila Pertama Pancasila: Ketuhanan yang Maha Esa), Pemimpin tersebut merupakan pilihan dari garis keturunan pemimpin-pemimpin terdahulu, dia menyatu dan menghargai warisan leluhur tanah Jawa.

Kemudian kelak akan datang Tunjung putih semune Pudak kasungsang. Lahir di bumi Mekah. Menjadi raja di dunia, bergelar Ratu Amisan, redalah kesengsaraan di bumi, nakhoda ikut ke dalam persidangan.

Raja keturunan waliyullah. Berkedaton dua di Mekah dan Tanah Jawa. Letaknya dekat dengan gunung Perahu, sebelah barat tempuran. Dicintai pasukannya. Memang raja yang terkenal sedunia.
(Kitab Musarar Jayabaya, Sinom: Bait 22, 27 dan 28)

Baca Juga:   Jelang Pemilu 2024, Polres Purwakarta Tegaskan Komitmen Netralitas Polri

Waktu itulah ada keadilan. Rakyat pajaknya dinar sebab saya diberi hidangan bunga seruni oleh ki Ajar. Waktu itu pemerintahan raja baik sekali. Orangnya tampan senyumnya manis sekali.

Selet-selete yen mbesuk ngancik tutuping tahun / sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu
bakal ana dewa ngejawantah / apengawak manungsa / apasurya padha bethara Kresna / awatak Baladewa / agegaman trisula wedha / jinejer wolak-waliking zaman / wong nyilih mbalekake / wong utang mbayar / utang nyawa bayar nyawa / utang wirang nyaur wirang (selambat-lambatnya kelak menjelang tutup tahun / (sinungkalan dewa wolu, ngasta manggalaning ratu) /

Baca Juga:   Tingkatkan Kemampuan Prajurit, Kodim 0826 Pamekasan Menggelar Latbak Jatri

Akan ada dewa tampil / berbadan manusia / berparas seperti Batara Kresna / berwatak seperti Baladewa / bersenjata trisula wedha / tanda datangnya perubahan zaman / orang pinjam mengembalikan / orang berhutang membayar / hutang nyawa bayar nyawa / hutang malu dibayar malu)

Penutup

Pancen wolak-waliking jaman amenangi jaman edan ora edan ora kumanan sing waras padha nggagas wong tani padha ditaleni wong dora padha ura-ura beja-bejane sing lali, isih beja kang eling lan waspadha.

Iki dalan kanggo sing eling lan waspada\ ing zaman kalabendu Jawa\ aja nglarang dalem ngleluri wong apengawak dewa\ cures ludhes saka braja jalma kumara\ aja-aja kleru pandhita samusana\ larinen pandhita asenjata trisula wedha\ iku hiya pinaringaning dewa\

Inilah jalan bagi yang ingat dan waspada pada zaman kalabendu Jawa jangan melarang dalam menghormati orang berupa dewa, yang menghalangi akan sirna seluruh keluarga, jangan keliru mencari dewa, carilah dewa bersenjata trisula wedha itulah pemberian dewa.

Nglurug tanpa bala yen menang tan ngasorake liyan para kawula padha suka-suka marga adiling pangeran wus teka ratune nyembah kawula angagem trisula wedha para pandhita hiya padha muja hiya iku momongane kaki Sabdopalon sing wis adu wirang nanging kondhang genaha kacetha kanthi njingglang nora ana wong ngresula kurang hiya iku tandane kalabendu wis minger centi wektu jejering kalamukti andayani indering jagad raya padha asung bhekti.

Menyerang tanpa pasukan, bila menang tak menghina yang lain, rakyat bersuka ria, karena keadilan Yang Kuasa telah tiba, raja menyembah rakyat bersenjatakan trisula wedha, para pendeta juga pada memuja, itulah asuhannya Sabdopalon yang sudah menanggung malu tetapi termasyhur, segalanya tampak terang benderang tak ada yang mengeluh kekurangan, itulah tanda zaman kalabendu telah usai berganti zaman penuh kemuliaan memperkokoh tatanan jagad raya, semuanya menaruh rasa hormat yang tinggi.

Sebagai informasi, Sri Jayabaya berkuasa sekitar tahun 1135 M hingga 1157 M, bergelar Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.

Jayabhaya merupakan Raja Panjalu yang memerintah sekitar tahun 1135-1159. dengan nama gelar abhisekanya yang digunakan ialah Sri Maharaja Sang Mapanji Jayabhaya Sri Warmeswara Madhusudana Awataranindita Suhtrisingha Parakrama Uttunggadewa.

Pemerintahan prabu Jayabaya dianggap sebagai masa kejayaan Kerajaan Panjalu, Kisah Prabu Jayabaya juga diabadikan dalam buku Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa, beberapa Peninggalan sejarahnya yang masih dapat ditelusuri hingga saat ini berupa Prasasti Hantang (1135), Prasasti Talan (1136), dan Prasasti Jepun (1144), serta Kakawin Bharatayuddha (1157).

Dikisahkan Jayabaya adalah titisan Wisnu. Negaranya bernama Widarba yang beribu kota di Mamenang. Ayahnya bernama Gendrayana, putra Yudayana, putra Parikesit, putra Abimanyu, putra Arjuna dari keluarga Pandawa.

Permaisuri Jayabaya bernama Dewi Sara. Lahir darinya Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni, dan Dewi Sasanti. Jayaamijaya menurunkan raja-raja tanah Jawa, bahkan sampai Majapahit dan Mataram Islam. Sedangkan Pramesti menikah dengan Astradarma raja Yawastina, melahirkan Anglingdarma raja Malawapati.

Jayabaya turun takhta pada usia tua. Ia dikisahkan moksha di desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Tempat petilasannya tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat dan masih ramai dikunjungi sampai sekarang.

Penulis: Kasepuhan Luhur Kedaton untuk merawat dan menjaga khasanah ilmu warisan leluhur.

Catatan:

  1. Beberapa kalimat atau bait Jangka Jayabaya tersebut diatas yang sekiranya mudah difahami tidak penulis sertakan artinya dan penempatan kutipan isi Jangka Jayabaya disusun atau dipilah berdasarkan tema kajian tanpa mengurangi makna yang tersirat dan tersurat dalam Kitab Jangka Jayabaya.
  2. Setiap orang bisa saja berbeda dalam memahami Ramalan, akan tetapi setidaknya adanya ramalan dalam Kitab Jangka Jayabaya tersebut menjadi cermin untuk melihat disisi mana kita berada dikala masa-masa itu terjadi.

Related Articles

- Advertisement -
- Advertisement -

Berita Terbaru

Adblock Detected!

Our website is made possible by displaying online advertisements to our visitors. Please consider supporting us by whitelisting our website.