Kamis, April 18, 2024
Beranda Sample Page

Sample Page Title

Kontras TIMES.COM | Keberadaan dan keanekaragaman warga Nahdiyin (NU) disimua sisi kehidupan dan golongan masyarakat menjadi instrumen penting bagaimana kita memahami khazanah perjuangan NU dalam sekala Nasional.

Sebagai Ormas sosial keagamaan, NU memiliki dua penyangga utama yaitu organisasi dan basis massa, dimana keduanya kemudian dikenal dengan istilah NU Struktural dan NU Kultural.

NU Kultural

Istilah NU Kultural, juga menjadi cara unik bagi Warga Nahdiyin (Keluarga Besar NU) diluar Setruktural untuk mengambil peran dalam memperjuangkan dan melestarikan tradisi dan ajaran Aswaja NU, termasuk melakukan kritik dan kontrol terhadap segala kebijakan yang membawa NU keluar dari Khittah NU 1926 sebagaimana telah diputuskan dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU tahun 1983 dan Muktamar NU ke-27 tahun 1984.

“Siapa yang mau mengurusi NU, aku anggap sebagai santriku, siapa yang jadi santriku, maka aku doakan husunul khatimah beserta keluarganya,”.Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari

Dalam artikel yang berjudul “MEMBUMIKAN NU KULTURAL”, Gus Dur mengungkapkan NU itu
ada dua: NU Struktural dan NU Kultural.

Struktural yaitu Kyai-kyai yang menduduki posisi di Tanfidhiyah dan Syuriah.

Sedangkan kultural yaitu
Kyai-kyai yang menghidupkan tradisi NU. Tradisi NU itu diantaranya:
ziarah kubur, tawasul, tahlil, istigasah, zikir bersama, peringatan maulid,
manakib, ngalab berkah dan lain-lain. Dan NU berkembang karena NU
kultural.

Dinamika NU Kultural juga pernah mewarnai Saat KH Ma’ruf Amin dicalonkan sebagai Wakil Presiden, kemudian bersama Anggota BPIP Mahfud MD, pada Rabu (26/9/2018), mendatangi rumah kediaman keluarga Presiden ke-4 Republik Indonesia, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan.

Usai bertemu keluarga Gus Dur, Mahfud MD mengatakan, NU struktural adalah pelayan bagi NU kultural dan NU kultural adalah penyangga bagi NU struktural.

“Struktural itu pelayan kultural, yang kultural itu penyangga yang sturktural. Sehingga ke depannya tidak ada lagi urusan kotak-kotak,” kata Mahfud.(dikutip dari tribun news.com 26 September 2018)

Tokoh NU dari Malang yang pernah menulis beberapa Buku diantaranya, Suluk Abdul Jalil, Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar, Atlas Wali Songo dan menjadi Wakil Ketua Pengurus Pusat Lesbumi NU, dalam keterangan yang dikutip Kontras Times dari NU online 20 April 2012 menjelaskan:

Wong NU Kultural merupakan masyarakat NU yang menjaga dan melaksanakan Amaliah ke-Islaman yang berakar pada akidah Ahlussunnah wal Jama‘ah-nya Imam Asy‘ari dan Maturidi atau secara teologi bercorak Asy‘arian dan Maturidian.

Agus Sunyoto juga mengungkapkan, Masyarakat NU Kultural juga merawat dan mengamalkan tradisi leluhur, sebuah tradisi yang berkembang di umat Islam Nusantara, sebagai ciri khas keagamaan NU.

Tradisi keagamaan semacam yasinan, tahlilan, kenduren, dihadiri oleh siapa saja, bagi mereka yang bisa membaca tulisan Arab atau tidak, tetap menghadiri upacara yasinan.

Tokoh NU dari Malang yang pernah menulis Buku Suluk Abdul Jalil, Perjuangan dan Ajaran Syaikh Siti Jenar, buku atlas Wali Songo dan menjadi Wakil Ketua Pengurus Pusat Lesbumi NU, dalam keterangan yang dikutip Kontras Times dari NU online 20 April 2012 menjelaskan, Wong NU Kultural merupakan masyarakat NU yang menjaga dan melaksanakan Amaliah ke-Islaman yang berakar pada akidah Ahlussunnah wal Jama‘ah-nya Imam Asy‘ari dan Maturidi atau secara teologi bercorak Asy‘arian dan Maturidian.

Baca Juga:   KPK Ingatkan Perilaku Koruptif Penghambat Tujuan Negara
Baca Juga:   Pertahankan Kekayaan Alam Sumatera Tetap Lestari, Wapres Tanam Bibit Pohon Kapur Barus

Agus Sunyoto juga mengungkapkan, Masyarakat NU Kultural juga merawat dan mengamalkan tradisi leluhur, sebuah tradisi yang berkembang di umat Islam Nusantara, sebagai ciri khas keagamaan NU.

Tradisi keagamaan semacam yasinan, tahlilan, kenduren, dihadiri oleh siapa saja, bagi mereka yang bisa membaca tulisan Arab atau tidak, tetap menghadiri upacara yasinan.

Sementara itu, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas menjabarkan, NU sebagai organisasi kemasyarakatan memiliki dua tanggung jawab sekaligus.

Pertama, tanggung jawab keagamaan atau mas’uliyah diniyah.

Kedua, tanggung jawab kebangsaan atau mas’uliyah wathaniyah.

“Tanggung jawab keagamaan NU, menurut Robikin, ialah bagaimana terus mengembangkan paham keagamaan ala ahlussunnah wal jamaah (Aswaja) yang terkenal dengan prinsip moderasi dan wasathiyah itu, adapun tangggung jawab kebangsaan NU ialah menjalankan komitmen kebangsaan dan kenegaraan dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),” papar Robikin Emhas yang juga merupakan salah satu Staf Khusus yang ditunjuk Wakil Presiden Republik Indonesia, Ma’ruf Amin , sebagaimana dikutip Kontras Times dari Aswaja News (11/09/2021).

NU Struktural

Sementara itu istilah NU Setruktural menurut Ketua PBNU Masdar F. Mas’udi, pada 28 Februari 2007 menjelaskan, berdirinya organisasi NU berawal dari sebuah komunitas kultural yang kemudian membentuk organisasi dan pengurusnya itulah menjadi Wong NU Setruktural (Warga NU yang berkhidmat menjadi pengurus organisasi NU).

“Jadi NU organisasi yang dibawa oleh Mbah Hasyim untuk melengkapi NU kultural yang sudah berjalan dan akan terus berjalan. Tapi kalau pengurus NU organisasi kerjanya seperti NU kultural, ini namanya reduncance, Ini tak ada nilai tambahnya sama sekali, karena ngaji, tahlilan, ini kerjanya kiai-kiai kultur itu ” kata Masdar F. Mas’udi, sebagaimana dikutip dari NU online pada 28 Februari 2007.

Kerjanya NU Setruktural organisasi adalah rapat mengambil keputusan untuk mencapai tujuan tertentu yang dikerjakan dalam waktu tertentu.

Masdar F. Mas’udi mengungkapkan, Jadi pengurus NU itu ke sana ke mari kerjanya jangan pengajian umum, menurut saya begitu, tugasnya pengurus menghadiri rapat kerja, kalau istighotsah dan pengajian ya kerjanya para kiai yang sudah ada.

“Jadi NU organisasi yang dibawa oleh Mbah Hasyim untuk melengkapi NU kultural yang sudah berjalan dan akan terus berjalan,” terang Masdar F. Mas’udi.

Masih kata Masdar F. Mas’udi, Pengurus organisasi (Wong NU Struktural) itu rukunnya kan ada 4, ada jamaah, ada tujuan bersama, ada kepemimpinan atau pengurus dan ada aturan main yang disepakati bersama.

Baca Juga:   Tutup Temu Bisnis Tahap VI, Wamenkumham: Belanja Produk Dalam Negeri Harus Terus Digelorakan

Poin Penting Khittah NU 1926

Dalam formulasi Khittah NU 1926, ditegaskan bahwa jamiyah secara orgnistoris tidak terikat dengan organisasi politik dan organisasi kemasyarakatn manapun.

Sementara dalam paham keagamaan, NU menegaskan sebagai penganut Ahlussunnah Waljamaah dengan mendasarkan pahamnya pada sumber Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan qiyas. Dalam menafsirkan sumber-sumber itu, NU menganut pendekatan madzhab dengan mengikuti madzhab Ahlussunnah Waljama`ah (Aswaja) di bidang akidah, fiqih dan tasawuf.

Baca Juga:   Tutup Temu Bisnis Tahap VI, Wamenkumham: Belanja Produk Dalam Negeri Harus Terus Digelorakan

Di bidang akidah, NU mengikuti dan mengakui paham Aswaja yang dipelopori Imam Abu Hasan al-Asy`ari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Di bidang fiqih NU mengakui madzhab empat sebagai paham Aswaja yang masih bertahan sampai saat ini.

Di bidang tasawuf NU mengikuti imam al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, dan imam-imam lain. Dalam penerapan nilai-nilai Aswaja, Khittah NU menjelaskan bahwa paham keagamana NU bersifat menyempurnakan nilai-nilai yang baik dan sudah ada. NU dengan tegas menyebutkan tidak bermaksud menghapus nilai-nilai tersebut. Dari sini aspek lokalitas NU sangat jelas dan ditekankan.

Dalam sikap kemasyarakatan, Khittah NU menjelaskan 4 prinsip Aswaja: tawasut (sikap tengah) dan i’tidal (berbuat adil), tasamuh (toleran terhadap perbedaan pandangan), tawazun (seimbang dalam berkhidmat kepada Tuhan, masyarakat, dan sesama umat manusia), dan amar ma’ruf nahi munkar (mengajak kepada kebaikan dan mencegah keburukan).

Fungsi ulama juga ditegaskan kembali oleh Khittah NU sebagai rantai pembawa paham Islam Ahlussunnah Waljama`ah. Ulama dalam posisi itu ditempatkan sebagai pengelola, pengawas, dan pembimbing utama jalannya organisasi. Fungsi ulama ini tidak dimaksudkan sebagai penghalang kreativitas, tetapi justru sebaliknya: untuk mengawal kreativitas.

Dalam hubungannya dengan kreativitas itu, Khittah NU menyebutkan bahwa jam`iyah NU harus: siap menyesuaikan diri dengan setiap perubahan yang membawa kemaslahatan; menjunjung tinggi kepeloporan dalam usaha mendorong, memacu, dan mempercepat perkembangan masyarakat; menjunjung tinggi kebersamaan masyarakat; menjunjung tinggi ilmu pengetahuan dan para ahlinya.

Khittah NU juga menegaskan aspek penting kaitannya dengan bangsa. Dalam soal ini, setiap warga NU diminta menjadi warga negara yang senantiasa menjunjung tinggi Pancasila dan UUD 45.

Sebagai bagian dari umat Islam Indonesia, masyarakat NU diminta senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan, tasamuh, kebersamaan dan hidup berdampingan. Ini disadari karena Indonesia dan umat Islam Indonesia sendiri sangat majemuk.

“Barang siapa mengajak kepada kebaikan, maka ia akan mendapat pahala sebanyak pahala yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi pahala mereka sedikitpun. Sebaliknya, barang siapa mengajak kepada kesesatan, maka ia akan mendapat dosa sebanyak yang diperoleh orang-orang yang mengikutinya tanpa mengurangi dosa mereka sedikitpun.” (HR Muslim no. 4831 disahihkan oleh ijma’ Ulama).

Penulis: LK
Sumber: Dari berbagai sumber.

Related Articles

- Advertisement -
- Advertisement -

Berita Terbaru

Adblock Detected!

Our website is made possible by displaying online advertisements to our visitors. Please consider supporting us by whitelisting our website.